
Jakarta – Harapan para pengelola dan guru madrasah agar Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dicairkan tepat waktu kembali pupus. Persatuan Guru Madrasah (PGM) Indonesia menyatakan kekecewaannya atas keterlambatan pencairan dana BOS madrasah untuk triwulan kedua tahun 2025. Dana yang seharusnya menjadi tumpuan operasional ribuan Raudhatul Athfal (RA) dan Madrasah di seluruh Indonesia ini hingga awal Juli belum juga turun.
Dikutip dari timesindonesia.com. Sekretaris Jenderal PGM Indonesia, Asep Rizal, mengungkapkan bahwa kondisi ini bukan pertama kali terjadi. Ia menyesalkan pemerintah yang dinilai tidak serius dalam menangani pendanaan pendidikan madrasah.
“Dalam Petunjuk Teknis BOS Madrasah 2025 sudah jelas disebutkan bahwa penyaluran dana dilakukan setiap triwulan secara sistematis dan tepat waktu. Tapi apa yang terjadi di lapangan? Lagi-lagi madrasah menjadi korban,” tegas Asep dalam keterangan persnya, Selasa (2/7).
Menurutnya, keterlambatan pencairan dana BOS berdampak langsung pada kelangsungan proses belajar mengajar. Guru-guru honorer terpaksa mengajar tanpa bayaran, operasional sekolah terganggu, bahkan beberapa madrasah kesulitan membayar listrik, membeli alat tulis kantor (ATK), hingga menjalankan program pembelajaran dasar.
Yang paling terdampak, kata Asep, adalah madrasah swasta yang memang menggantungkan hampir seluruh operasionalnya pada dana BOS. Tanpa kepastian anggaran, banyak guru harus merogoh kocek pribadi untuk menutupi kekurangan biaya kegiatan pembelajaran.
“Ini bukan sekadar soal teknis administrasi. Ini menyangkut nasib guru, anak-anak, dan masa depan pendidikan kita. Pemerintah, DPR, Presiden, dan para menteri harus lebih peduli,” ujarnya.
PGM Indonesia juga menyoroti ketimpangan dalam sistem pembiayaan antara madrasah yang dikelola oleh Kementerian Agama (Kemenag) dan sekolah-sekolah umum di bawah Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek). Ia menilai madrasah kerap mendapat perlakuan tidak adil, seolah menjadi anak tiri dalam sistem pendidikan nasional.
“Kenapa madrasah selalu dianaktirikan? Padahal kontribusinya terhadap pembangunan sumber daya manusia tidak kalah dengan sekolah umum. Ini bentuk diskriminasi anggaran yang sudah berlangsung bertahun-tahun,” tambah Asep.
Ia menekankan bahwa keadilan dalam pendanaan pendidikan harus menjadi prioritas utama pemerintah jika ingin mewujudkan pemerataan pendidikan di seluruh wilayah Indonesia. Terlebih, madrasah selama ini dikenal sebagai lembaga pendidikan yang menjangkau daerah-daerah terpencil dan kelompok masyarakat yang kurang mampu.
PGM Indonesia pun mendesak pemerintah untuk segera membenahi sistem penyaluran dana BOS madrasah. Menurut Asep, perbaikan ini bukan hanya soal tanggung jawab administratif, melainkan juga soal moral dan komitmen terhadap keadilan sosial.
“Dana BOS bukan sekadar angka dalam APBN, tapi napas kehidupan bagi madrasah. Jika napas itu terus-terusan tersendat, bagaimana mungkin kita bisa berharap generasi bangsa tumbuh dengan baik?” pungkasnya.